Kembali ke Banjarmasin, kami berusaha mencari pengalaman yang berbeda. Dua tahun lalu, umpamanya, kami mengunjungi pasar terapung Muara Kuin di Sungai Barito. Kini, mendengar info dari kawan-kawan traveler Banjarmasin, pasar terapung di Muara Kuin nyaris punah. Hal itu masuk akal. Akses jalan darat di Muara Kuin semakin bagus, sehingga pola transportasi bergeser, penggunaan perahu di di kawasan itu berkurang, termasuk dalam sektor perdagangan tradisional. Pasar terapung Muara Kuin yang pukul tujuh pagi sudah mulai sepi, kini semakin sunyi.
Tapi tidak demikian halnya dengan pasaar terapung Lok Baintan. Pasar ini terletak di desa Sungai Pinang, Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Banjar. Cuma, cara mencapainya mirip. Kami juga bangun di pagi buta, sekitar pukul 04.30. Maklum, aktivitas pasar ini hanya buka di pagi hari.
Sebenarnya ada beberapa pilihan untuk mencapai Pasar terapung Lok Baintan. Bisa sambung-menyambung jalan darat atau jalur sungai. Tapi yang lebih praktis, ya menggunakan jalan sungai saja. Kebetulan hotel yang kami tempati bermalam di tengah kota Banjarmasin terletak persis di tepi sungai. Bahkan di depannya terdapat dermaga tempat berlabuhnya beberapa perahu. Tarif pergi-pulang Rp. 250.000,-. Kawan yang menemani kami di Banjarmasin mengatakan waktu tempuh dengan perahu ini sekitar 45 menit. Itu sebenarnya cukup untuk menambah waktu tidur kami di dalam perahu yang sangat kurang. Tetapi desir sungai dan desah angin subuh rasanya sayang untuk dilewatkan. Jadilah saya duduk di buritan perahu, kadang pindah ke haluan, menghadang angin yang meliuk di atas sungai selama perjalanan. Dan itu ada bayaranya, ketika ‘breaking dawn’. Secara bertahap pergantian hari dari gelap ke terang dimulai. Warna putih mulai terbersit di ufuk. Suara kecipuk air yang terbelah oleh laju kapal dan desir angin saling mengejar. Hanya, kami tak lagi sendiri di tengah sungai. Satu dua sampan kecil mulai tampak agak di tepi sungai. Meraka, ibu-ibu yang akan berjualan di pasar terapung Lok Baintan. Artinya, kami sudah mulai dekat dengan lokasi tujuan.
Ya, di depan kami membentang sebuah jembatan, menggantung diatas keheningan Sungai Martapura Lok Baintan. Kami pun menepi. Dari atas jembatan kami melihat pemandangan yang berbeda sesudah sejak subuh di tengah sungai. Pada gerbang salah satu jembatan tertulis “Lok Baintan Hanging Bridge,. Welcome to Lok Baintan Floating Marke, the Hidden Beauty of South Borneo”.
Dan itu benar. Tak jauh dari situ berkumpul para penjual, yang kebanyakan kaum ibu. Di atas jukung-jukung itu mereka berjualan. Yang diperdagangkan adalah hasil bumi produksi pertanian atau kebun mereka, seperti sayur-mayur dan buah-buahan. Tapi layaknya pasar, ada pula yang menjual beras. Dan karena pasar ini sudah menjadi konsumsi wisata, maka banyak pula yang menjual makanan jadi seperti kue-kue dan panganan sarapan pagi lainnya.
Para penjual ini berasal dari anak Sungai Martapura, seperti Sungai Lenge, Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai Tanifah, dan Sungai Lok Baintan.
Yang menarik dari Pasar Terapung ini, tidak banyak argumentasi tawar-menawar. Masing-masing seperti sudah paham nilai masing-masing yang akan dibeli. Selain itu, uang tidak senantiasa menjadi alat tukar, karena sistem barter sesama mereka masih berlaku. Sekita pukul delapan hingga sembilan pagi, para penjual ini mulai meninggalkan pasar satu persatu. Namun bagi para penggemar photography, sepanjang waktu itu tersedia lahan berburu photo yang menantang, bila jeli. Tapi benar, dari sekian banyak aktivitas khas di Kalimantan Selatan, inilah salah satu keindahan khas yang tersisa.
Selain di Muara Kuin yang mulai surut, pasar terapung di Kalimantan Selatan yang masih berdenyut adalah di Lok Baintan, keindahan yang tersisa usai fajar. Barter masih berlaku disini.
Baca juga :
1 komentar so far
kaya iklan rcti jaman dulu ya wkwkwk.
EmoticonEmoticon